HILANGNYA PERTEMUAN EMOSIONAL DALAM PEMBELAJARAN DARING
Setelah pandemi melanda sejak Februari 2020 hingga
sekarang dan pembelajaran dari tingkat terendah sampai perguruan tinggi dilaksanakan
secara daring, penulis banyak mendengar keluhan para orang tua yang seolah
meronta dan mau teriak agar pembelajaran di sekolah dilaksanakan secara luring
khususnya pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah atas. Para orang tua
gelisah dan kewalahan mendampingi anaknya yang melakukan pembelajaran daring. Ada
banyak faktor penyebab kegelisahan orang tua tersebut yang tidak bisa kita bahas
dalam tulisan pendek ini.
Dalam sebuah buku hadits, Al-Arba’in al-Nawawiyah, diceritakan
bahwa ketika Rasulullah
SAW duduk Bersama para sahabat datanglah seorang
laki-laki yang berpakaian yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak ada
tanda-tanda bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara sahabat
yang mengenalinya. Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan
kedua lututnya kepada kedua lutut Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam. Laki-laki
tersebut kemudian bertanya tentang islam, iman, ihsan dan kiamat. Untuk lebih
lengkapnya hadits yang dimaksud bisa dilihat pada kitab al-Arba’in al-Nawawiyah
karya Muhyiddin Yahya bin Syaraf Nawawi hadits kedua.
Dari penggalan cerita hadits tersebut yang ingin
penulis highlight adalah menempelnya lutut seorang laki-laki (malaikat Jibril)
dengan lutut Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam keadaan lutut kedua makhluq terpercaya tersebut
menempel malaikat Jibril, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, mengajarkan ilmu
kepada Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya malaikat Jibril
sebagai guru dan Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sebagai
murid. Ini mengisyaratkan jika hendak melakukan aktifitas pendidikan pendidik
dan peserta didik harus bertemu dan dekat secara fisik. Kenapa demikian? Karena
dengan pertemuan fisik pendidik dan peserta didik bisa berinteraksi dengan
leluasa. Pendidik bisa mengontrol dan membuat suasana pembelajaran sekondusif
mungkin.
Hal lain yang terjadi saat keduanya bertemu secara
fisik adalah terjadinya pertemuan emosi antara keduanya. Pendidik maupun peserta
didik sama-sama bisa merasakan kondisi emosional satu sama lain. Pertemuan emosi
ini tidak bisa terjadi dalam KBM secara daring apa lagi prosesnya menggunakan
WA, Google Classroom dan aplikasi lain yang berbasis teks atau suara. Alih alih
mengontrol dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, guru tidak tahu
persis apa dan siapa yang dihadapi dalam aplikasi daring tersebut karena sangat
mungkin yang mengoperasikan aplikasi daring atau yang merespon pertanyaan dan
tugas, misalnya, adalah orang tua, saudara atau teman dari peserta didik. Sehingga
yang belajar bukan peserta didiknya tapi orang lain.
Dalam aplikasi online yang berbasis audio video juga
sama walaupun tingkat kontrolnya lebih mudah dari pada aplikasi berbasis teks. Ada
banyak celah dalam aplikasi yang dimaksud untuk peserta didik bisa menyamar,
seperti menggunakan background video. Dalam penggunaan fitur tersebut
murid bisa menyamar seolah-olah dia aktif berada di depan kamera padahal tidak
demikian karena sudah digantikan video yang dibuat sebelumnya dan ditampilkan
dalam aplikasi.
Oleh : Ihya' Ulumuddin (Dosen IAI Syarifuddin)